2010

Cerita Motivasi (CerMot)_Gadis Oon(dungu) Went to Canada

 By: Regina Natalia



Hahahaha...ide gila apa yang terlintas dipikiran Gadis. Ia ingin mengikuti sebuah kontes Miss Personality 2010 di Kanada yang biasanya dipadati dengan wanita-wanita cantik dari barbagai mancanegera. Mereka memiliki segudang kelebihan serba “WAH!!!” yang tak dimiliki oleh Gadis. Bermodalkan secuil keterampilan bahasa inggris namun dengan keberanian yang sangat besar, membuat Gadis(1)termotivasi untuk mendaftarkan diri ikut kontes tersebut.

Pergi ke luar negeri adalah salah satu (2)visi hidup yang harus diwujudkan Gadis. Menurutnya, ini adalah jalan yang dapat ditempuh agar ia bisa melaksanakan (3)misi rahasianya itu. Setelah mendaftarkan diri, Gadis mulai menyusun strategi untuk mempersiapkan diri mengikuti kontes tersebut. Ia membuat sebuah daftar tentang hal-hal apa saja yang harus ia lakukan meliputi:

Baca selengkapnya »

Prestasi Membanggakan Anak-Anak Papua


Punya presiden, wapres, dan mendiknas yang semuanya doktor, ternyata tidak menjamin bahwa masalah pendidikan mendapatkan perhatian serius.

Pak Yohanes, you are rock! Kebetulan sekali, orang Papua memang suka bilang: Kamu Batu!, untuk orang-orang yang memiliki kemauan keras dan mewujudkannya. Saya kurang tahu apakah asal muasal kata 'Kamu Batu' ini terjemahan langsung dari you're rock. Kadang-kadang memang ada bahasa yang diplesetkan. Misalnya, kalau mengumpat, orang Indonesia suka bilang: Matamu itu! Saya pernah mendengar seorang karyawan mengumpat ke ekspatriat: Your eyes, Sir. Tentu saja yang diumpat kebingungan: What's wrong with my eyes? Mungkin, kini saatnya umpatan 'Your eyes itu, Sir dialamatkan ke pemerintah kita sendiri, yang katanya memiliki amanah untuk mencerdaskan bangsa.

Sangat menyedihkan. Selama sepuluh bulan dibina di Karawaci, dua jam dari Jakarta, tak sekalipun anak-anak luar biasa ini dikunjungi pejabat. Ketika akhirnya ada pejabat cabutan yang menghadiri perlombaan di Papua, dan butuh lima jam untuk terbang plus empat jam off-road dari Jakarta ke Papua-Tolikara, terbukti bahwa kehadiran mereka sangat dinantikan.

Bangsa ini butuh orang seperti Pak Yohanes, yang selalu menjadi pionir dan percaya dengan jurus mestakung (semesta mendukung)-nya. Bangsa ini juga butuh pejabat seperti John Tabo,yang sanggup mengambil keputusan tidak populer. Bangsa ini, lebih penting lagi, butuh anak-anak, pemuda-pemuda, dan semua elemen masyarakat untuk bekerja keras. Setidaknya, memang ada empat hal dalam setiap perjuangan. Breaking through, move the barrier, support the movement, and networking. Pak Yohanes sudah memecah gembok itu, Pak John Tabo menyingkirkan penghalang atau dengan kata lain memberikan jalan, anak-anak itu menjalankan amanah dan kepercayaan yang diberikan, dan akhirnya jaringan yang terbentuk ini menjelma menjadi sebuah prestasi membanggakan.




----------------------------
Salam dari Jayapura!

Kami bertiga baru saja keluar dari pedalaman Tolikara menyaksikan Olimpiade Astronomi se Asia-Pacific. Hasilnya?
Pelajar2 Indonesia menduduki urutan ke-2 dari 9 negara, dengan perolehan 1 medali emas, 2 perak dan 4 perunggu. Korea Selatan di urutan pertama dengan 2 emas. Indonesia berada diatas China, Rusia, Kazakshtan, Kyrgistan, Nepal, Cambodia, dan Bangladesh. Lebih mengejutkan lagi, 3 medali perunggu Indonesia di raih oleh pelajar asal Tolikara, kabupaten terpencil di Tolikara, yang selama ini mengalami keterbelakangan pendidikan dan SDM. Dari Tolikara, Indonesia belajar!
Kisahnya dimulai dengan seorang "gila" bernama Yohanes Surya, pendiri Surya Institute dan salah satu aktivis olimpiade science dunia, yang telah sukses mempromosikan banyak anak Indonesia ke ajang olimpiade science dunia, memprakarsai dilaksanakannya Olimpiade Astronomi Asia Pacific (APAO) di Indonesia. Program ini ditawarkan ke berbagai pemda di Indonesia, namun tidak ada yang tertarik. Hingga suatu hari ...
Yohanes Surya ketemu dengan seorang "gila" lainnya bernama John Tabo, orang Papua, Bupati Tolikara, pegunungan tengah Papua, kabupaten baru yang terisolir dan hanya bisa dicapai dengan naik pesawat kecil dari Jayapura ke Wamena disambung berkendaraan off-road selama 4 jam, daerah dimana laki-laki tanpa celana dan perempuan tanpa penutup dada, ditemukan dimana-mana. John Tabo, tanpa diduga, bersedia menjadi sponsor pelaksanaan APAO di Indonesia, selain menjadi tuan rumah, dia juga mendanai seluruh biaya persiapan tim olimpiade Indonesia yang datang dari berbagai daerah di Indonesia termasuk dari Papua, selama 1 tahun.
John Tabo membangun tempat khusus (hotel) untuk menjadi venue olimpiade ini. Orang yang berfikir normal pasti bilang, untuk apa John gila ini urusin Olimpiade astronomi seperti ini? bukankah masih banyak persoalan internal kabupaten yang harus dia selesaikan? mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi dan berbagai infrastruktur dasar? Cari kerjaan dan masalah saja!
John Tabo melakukan terobosan "gila". Dana diambil dari APBD, mau dari mana lagi? Dia tidak takut BPK atau BPKP yang akan menilainya salah prosedur. Untuk John Tabo, membangun adalah untuk rakyat, jangan dibatasi oleh hal-hal administratif. Yang penting misi dia untuk membangun SDM Tolikara yang mendunia dapat tercapai, dan itu "breakthrough" untuk mengatasi kemiskinan Tolikara, tidak perlu menunggu sampai infrastruktur jalan akses terbuka.

Dikumpulkanlah 15 anak Indonesia sejak februari 2010 di Karawaci untuk, kesemuanya "gila". 8 dari 15 anak tersebut direkrut dari SMP/SMU Tolikara, yang semuanya memiliki kemampuan matematika yang rendah, menyelesaikan soal matematika tingkat kelas 4 SD saja tidak mampu. Bahkan ada yang namanya Eko, ketika ditanya 1/5 + 1/2, langsung dijawab 1/7!
Seorang anak dari Kalimantan Tengah, malah tidak diijinkan kepala sekolah dan gurunya untuk mengikuti persiapan olimpiade ini. Guru-gurunya mengatakan bahwa apa yang akan dia ikuti itu sia-sia saja. Dia melawan ini dan lari dari sekolah!
Ke-15 anak ini dilatih oleh pelatih2 "gila", yang tidak bosan dan kesal melatih anak-anak ini. Dalam 10 bulan ke-8 anak Tolikara ini mampu mengerjakan problem matematika paling sulit yang diajarkan pada tingkat terakhir SMA atau tingkat awal universitas.
Pendekatan mengajarnya juga "gila". Astronomi adalah kumpulan dari berbagai ilmu science: matematika, fisika, kimia dan biologi menjadi satu mempelajari fenomena jagad raya.

Ini juga ilmu gila. Bayangkan seorang anak seperti Eko dari pedalaman Tolikara dapat menjadi salah seorang anak terpandai dibidang astronomi didunia hanya dalam waktu 10 bulan??!!
Urusan ijin ternyata juga "gila-gilaan" .
Ternyata even APAO ini tidak diakui oleh Kemdiknas. Akibatnya, untuk mendatangkan peserta luar negeri, tidaklah mungkin mendapatkan fasilitas visa dari negara. Pake prosedur normal ijin dari Pemerintah cq Mendiknas tidak keluar.
Entah gimana ceritanya ...

Surya Institute akhirnya bertemu dengan seorang "gila" dari UKP4. Orang inilah yang mengetok Menteri Diknas, sehingga kemdiknas mau mengeluarkan ijin. Lalu orang ini memfasilitasi ijin visa disaat-saat terakhir, ketika semua sudah pasrah, bahkan orang ini mempertemukan anak-anak Indonesia dengan wakil presiden RI. Orang normal mungkin akan berfikir, apa urusannya astronomi dengan wapres??!!
Lalu siorang gila dari UKP4 ini menugaskan 3 orang anggotanya yang kebetulan juga "agak gila" untuk datang menghadiri kegiatan olimpiade di Tolikara. jadilah 3 orang itu sebagai satu2nya unsur pemerintah pusat dalam even Olimpiade di Tolikara. Lalu 3 orang ini membawa-bawa nama Wakil Presiden RI dan Kepala UKP4 untuk memotivasi anak2.

Dalam percakapan hati ke hati dengan 15 orang anak, semalam sebelum pengumuman, tidak kurang 7 orang anak terharu menangis, melihat begitu besarnya perhatian pemerintah RI kepada mereka, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan dari pemerintah di Jakarta selama 10 bulan mereka di godok di Karawaci. Datang dan duduk bersama dengan mereka, ternyata lebih dari segalanya bagi anak-anak ini.

Anak-anak Tolikara begitu terharu, menangis terisak, melihat ada orang Jakarta mau datang melihat mereka di Tolikara.
Apa hasil dari semua kegilaan ini? Selain perolehan medali-medali diatas:
1. Indonesia dikenal lewat Tolikara! Tolikara, meskipun tidak dikenal Indonesia, namun telah membuktikan kepada dunia bahwa dari tempat yang sedikit sekali dijamah pembangunan, bisa lahir juara-juara olimpiade science, yang akan
mengharumkan nama Indonesia ditingkat dunia,
2. Tolikara mulai membenahi sumber daya manusianya menuju SDM berkualitas dunia. Hasil olimpiade ini telah memotivasi semua anak Tolikara bahwa keterbatasan fisik dan fasilitas bukanlah halangan bagi anak Tolikara untuk menjadi SDM terbaik dunia. 8 anak Tolikara yang bersaing ditingkat dunia menjadi saksi hidup bahwa SDM Tolikara dapat bersaing ditingkat dunia.
3. Tolikara membuktikan bahwa mereka dapat membangun "lebih cepat" jika cara berfikir "gila" ini diterapkan. Hanya dengan cara gila seperti ini pembangunan Papua dapat dipercepat.
4. Kita perlu "A Tolikara Approach" untuk sebuah percepatan pembangunan Papua!
Pesan moral dari kisah ini:
jadilah orang gila untuk membangun Indonesia lebih baik!
Never underestimate things!
Kesempatan ke Tolikara telah memberikan pelajaran berharga bagi saya. Belajar tidak harus selalu dari tokoh dunia. Dari seorang anak SMP yang tidak pernah diperhitungkan dipelosok Tolikara, kita dapat belajar untuk berbuat yang terbaik bagi Indonesia dan dunia.

Partogi Samosir
Counsellor
Embassy of the Republic of Indonesia
Washington, D.C


weitten by  Sidrotun Naim

Kenapa anda harus ikut menyumbang dana buat Wikipedia...



Internet sekarang sudah jadi istilah sehari-hari... dr anak sd sampai pejabat semua merasa perlu menggunakannya. Atau paling tidak merasa perlu tahu apa itu internet. Well apa sih yg kita tahu sejauh ini ttg internet ?

Dari survey nggak sengaja kalau pas lagi ngomongin internet dgn berbagai kalangan, makna internet secara umum praktis hanya :
1. Sarana informasi yg sebatas situs berita atau majalah online.
2. Sarana komunikasi yg sebatas e-mail, chatting atau yg lagi marak -jejaring sosial.
3. Sarana hiburan yg sebatas game online, video, audio.
4. Sarana berdagang yg sebatas online store dan e-banking

Buat generasi yg begitu mbrojol fotonya sudah masuk internet gara-gara orang tuanya eksis di internet keberadaan internet makin tersepelekan. Ibarat udara... yg betapapun pentingnya dianggap memang harus ada dan tidak istimewa.

Gua sempet ngalamin masa sebelum ada internet. Masa dimana informasi paling update itu cuma koran. TV cuma satu stasiun en ya know how it is... coba aja liat... masih seperti dulu koq. Buku mahal, makanya gua end up ngoleksi kartu perpustakaan. Apa-apa SELALU telat nyampe kesini. Ditambah waktu yg dibutuhkan buat memahami, mempelajari, pengetahuan kita praktis kadaluarsa begitu selesai update. Kecuali buat orang-orang tertentu yg kenal orang-orang tertentu yg kerja buat organisasi-organisasi tertentu. 

Informasi yg nyampe biasanya hasil keputusan orang bahwa "dah deh loe tahu ini ajah". Nggak pernah punya kebebasan milihsumbernya apalagi klarifikasi. Dalam konteks ini kondisnya diperparah sama orang yang memang berdagang informasi. Akses informasi jadi rumit dan mahal. Suka nggak suka kita cuma bisa jadi pemakai. Pengekor.

Sampai munculnya internet.

Dengan hadirnya internet, buat pertama kalinya dalam sejarah umat manusia informasi itu jadi gratis. Ini yang sekarang dianggap remeh. Gua mau loe berhenti dan renungkan frasa ini "Informasi gratis." Tentang apa aja nggak pake tapi. APA SAJA.

Loe liat sesuatu yg menarik di tv loe search en loe bisa baca mulai dr obrolan orang umum sampe telaah pakar ttg hal itu.Pusing baca, simpan. Besok lanjut. Loe baca buku en loe nggak setuju sama pengarangnya loe e-mail pengarangnya. Hampir selalu komentar loe dihargai. Ajakan debat loe di ladenin. Loe baca insiden politik di koran loe search en bisa dapet perspektif semua pihak en jadi lebih jelas duduk perkaranya. Semua orang berlomba-lomba kalo nggak jadi insinyur, jadi dokter... loe cuma pengen jadi penyair. Di dunia nyata loe diketawain. Tapi loe bisa search en bisa kontak dengan bukan satu atau dua, tapi ratusan orang dengan hasrat yg sama. Yang ngomong pun dengan gaya sastra. Dan yang palling yahud, loe demen sama bidang terntetu loe search en ketemu organisasi yg menggeluti bidang itu en loe bisa "pesen" kalau ada info baru kirim ke loe.

Tiba-tiba kedudukan loe SAMA dengan orang seantero jagad. Begitu mereka tahu, loe juga tahu. DAN SEBALIKNYA. Tiba-tiba pengetahuan seluruh dunia ada diujung jari loe. Yang perlu loe punya cuma keingin tahuan. Tukang taksi bisa paham luar dalam ttg mekanika kuantum, penjual gado-gado bisa ngerti aturan 20/80 dlm bisnis, anak sd bisa bikin program buat orang buta dan berbagai anomali lainnya.

Informasi ttg apa saja, gratis. 
Renungkan dan bikin anak-anak loe paham nilai sesungguhnya dr kemampuan buat online.

Buat punya duit loe musti kerja,  buat kerja loe musti pinter, buat jadi pinter loe musti sekolah, buat sekolah loe butuh duit. Internet memutuskan lingkaran setan ini. Malah lebih bergantung seberapa kuat niat loe.

Di dunia nyata apa-apa itu nggak mungkin gratis karena ada konsep untung rugi. Konsep untung rugi bisa ada karena ada konsep kepemilikan. Nggak tahu siapa yang mulai tapi somewhere di masa lalu kita memutuskan kita bisa MEMILIKI apa yg ada di alam. Mulailah persaingan punya gua segini loe berapa. Kalau bisa dapet banyak tapi cuma dapet sedikit, loe rugi, loe bego. Akhirnya pakemnya makin banyak makin baik. Ketika konsep duit diperkenalkan, kepemilikan disederhanakan jadi secarik kertas. Money is power.

Di dunia maya konsep kepemilikan TIDAK HARUS ada. Kalau tidak ada konsep kepemilikan tidak ada untung rugi. Yang ada cuma bagus,  jelek, berguna atau sampah. Loe nggak perlu beli karena apa yg ada loe boleh pake, loe nggak perlu jual karena apa yg loe bikin orang boleh pake. Nafsunya bukan keserakahan, tapi keingintahuan. Yang dikejar bukan keuntungan, tapi kesempurnaan. Kepuasan berkarya.

Inilah yang melahirkan budaya-budaya seperti gerakan open source, platform wiki, etos peretas, copyleft (common creative) sampai yang lagi seru-serunya WEB 2.0 yg diwujudkan dengan jejaring sosial. This is what the internet is all about.

Wikipedia adalah salah satu produk dr budaya dan semangat itu. Yang jadi bukti nyata transaksi itu nggak mesti jual beli. Tapi bisa simply barter. Give and take. Sharing. Meski wibawa otoritasnya nggak ada tapi kualitasnya nggak kalah dengan produk institusi. Dalam beebrapa aspek malah lebih bagus. Karena orang ngisi wikipedia bukan karena dibayar tapi karena dia demen. Dia cinta. Nggak pernah terpaksa.

Wikipedia adalah bukti bahwa kita bisa mengubah keadaan kalau mau. Menegaskan bahwa harapan buat dunia yang lebih baik dan lebih bersahabat bukan isapan jempol dan tidak naif.

Jangan biarkan harapan itu mati.
Lestarikan wikipedia.
Klik banner dibawah ini atau di paling atas sana.



written By Mas Judge

Cara Menghemat BBM (Bahan Bakar Minyak) Ala Jepang.


Indonesia adalah negara yang kaya akan energi, baik energi yang terbarukan maupun yang tidak dapat diperbaharui. Namun ironisnya Indonesia malah kekurangan energi, minyak tanah, solar dan premium menjadi barang langka sedangkan harga listrik kian melangit. Berikut adalah sebuah tulisan Benny Marbun seorang insiyur konservasi energi Indonesia, yang pernah menimba ilmu di negeri sakura.


Jepang adalah salah satu negara yang serius menangani konservasi energi. Keseriusannya ditunjukkan dari kepedulian menemukan cara menghemat pemakaian energi, mulai dari yang berdampak kecil hingga yang besar.

Mulai dari yang tidak mengeluarkan biaya tambahan apa-apa hingga yang berongkos selangit. Mulai dari yang dilakukan sukarela hingga yang diberikan insentif. Semangat Jepang melakukan penghematan pemakaian energi, khususnya minyak bumi, patut diacungi dua jempol dan pantas dicontoh. Berikut ini akan dicoba menerapkan semangat konservasi energi Jepang untuk lingkungan kehidupan Indonesia.

Keberhasilan program penghematan energi di Jepang tidak terlepas dari keberadaan The Energy Conservation Center, Japan (ECCJ), suatu organisasi yang bertanggung jawab mempromosikan konservasi energi. ECCJ yang berdiri tahun 1978, atau dua tahun setelah krisis BBM dunia, antara lain memberikan pelayanan informasi tentang teknologi konservasi, undang-undang dan peraturan terkait konservasi, memberikan pelatihan, menguji manajer energi, dan menyelenggarakan seminar yang menggalakkan penghematan energi.

Segmen pemakai energi yang menjadi sasarannya adalah sektor industri, komersial, rumah tangga, dan transportasi.

Kepakaran dan pengabdian dari pengelola ECCJ, yang sebagian darinya adalah tokoh-tokoh sukses yang sudah pensiun, menyebabkan aktivitas ECCJ sangat berdampak kepada keberhasilan konservasi energi di Jepang.

Serius walaupun hal kecil

Salah satu sektor pengguna yang konsumsi BBM-nya masih potensial ditekan adalah sektor automotif, khususnya kendaraan roda dua dan roda empat. Banyak tidaknya pemakaian BBM oleh satu kendaraan terutama ditentukan oleh besar volume (cc) mesin. Semakin besar cc-nya, semakin banyak kebutuhan BBM per satuan jarak tempuh. Contoh, sepeda motor 100 cc hanya mengonsumsi BBM 1:35 (satu liter BBM untuk jarak tempuh rata-rata 40 kilometer).

Bandingkan dengan mobil yang 1000 cc yang memiliki rasio 1:12 dan mobil 2000 cc dengan rasio 1:7. Tetapi, untuk setiap jenis kendaraan yang ukuran cc mesinnya sudah tertentu, ada faktor-faktor lain yang memengaruhi boros tidaknya kendaraan mengonsumsi BBM, seperti yang dijelaskan berikut ini.

Semakin berat kendaraannya, semakin boros kendaraan itu mengonsumsi BBM. Pemilik mobil memiliki kebiasaan membawa barang-barang ke mana saja mobil berjalan walaupun barang tersebut tidak diperlukan. Bagi pemain golf, menyimpan stik golf dan kelengkapannya di bagasi mobil adalah hal yang biasa agar sewaktu ada ajakan main, perlengkapan sudah tersedia. Berat satu set stik golf dapat mencapai 1-15 kilogram.

Untuk mobil yang relatif tua, yang sudah mulai banyak rewelnya, di bagasi mobil biasanya ada oli cadangan, air aki, air radiator, tali derek, bahkan ada yang menyimpan dua ban serap di bagasi.

Semua barang yang sebenarnya tidak diperlukan ini menambah beban kendaraan dan membuat mesin lebih boros. Kalau biasanya untuk jarak tempuh 50 kilometer hanya perlu 5,5 liter, dengan tambahan beban ”aneh-aneh” tadi, konsumsi BBM menjadi 5,88 liter atau lebih boros 0,38 liter untuk jarak tempuh yang sama. Bila di Jakarta ada 100.000 mobil yang perilaku pemilik mobilnya seperti di atas, maka dalam satu hari sudah terjadi pemborosan 38.235 liter. Pengemudi di Jepang hanya membawa perlengkapan mobil seperlunya. Barang bawaan juga terbatas hanya yang memang diperlukan.

Kesiapan kendaraan

Dari bincang-bincang dengan mekanik bengkel, sering pengemudi membawa mobil ke bengkel untuk keperluan lain, misalnya mencuci mobil, tetapi mekanik menemukan bahwa sistem rem kendaraan ada gangguan. Si pengemudi tidak menyadarinya sampai sang mekanik memberitahunya.

Kendaraan yang sistem remnya tidak baik ada kalanya menyebabkan putaran ban agak tertahan oleh kanvas rem. Indikasinya, pelek ban biasanya memanas jika mobil dibawa berjalan, tarikan mesin serasa tidak bertenaga, ketika mobil berjalan melambat menuju berhenti maka mobil akan cepat mencapai posisi stop. Jika keadaan seperti ini terjadi, pemakaian BBM menjadi lebih boros. Karenanya, apabila pengemudi mobil merasakan kelainan sistem pengereman, jangan tunda memeriksakannya ke bengkel.

Keadaan lalu lintas yang padat di kota-kota besar memaksa pengemudi untuk sering memacu kendaraan dari keadaan berhenti dan setelah bergerak sedikit tiba-tiba harus menekan pedal rem. Perilaku seperti ini sering dilakukan pengemudi pada waktu lalu lintas macet. Alasannya, apabila kendaraan dari keadaan stop karena macet mulai dijalankan secara perlahan, bisa saja mobil di kiri atau di kanan tiba-tiba memotong ke depan, mengisi kekosongan tempat yang ditinggalkan mobil yang di depan sebelumnya (lihat gambar).

Agar tidak sering di sodok pengemudi yang tidak sabaran, biasanya pengemudi di kota-kota besar langsung tancap gas bila mobil di depan bergerak. Putaran mesin persneling satu sudah langsung di angka 3.000-an. Padahal, baru 15 meter bergerak sudah berhenti lagi. Karenanya, mobil harus segera di rem.

Perilaku seperti ini sering terjadi dan menyebabkan banyak BBM terbuang percuma. Pengemudi di Jepang lebih tertib, tidak saling sodok walaupun jalanan macet. Karenanya, tak ada salahnya pengemudi Indonesia juga mencoba bersikap sabar, menjalankan kendaraannya secara bertahap tanpa dipaksakan.

Mobil pribadi di kota-kota besar hampir semuanya memiliki AC. Dari pengamatan di jalanan, sebagian besar kendaraan pribadi menyalakan AC ketika sedang dikendarai. Penggunaan AC ini memengaruhi penggunaan BBM. Beberapa jenis mobil menunjukkan perbedaan pemakaian bahan bakar yang berbeda jauh antara saat pakai AC dengan saat tidak memakai AC. Misalnya, ketika tanpa AC, pemakaian BBM sebesar 1:11, yaitu 1 liter untuk 11 kilometer rata-rata. Jika pakai AC, pemakaian BBM menjadi 1:7 rata-rata. Andaikan perjalanan berangkat pagi ke kantor dan pulang malam sejauh 2 x 25 kilometer, penghematan BBM jika mobil berjalan tanpa AC adalah 2,6 liter per hari atau penghematan mencapai 30 persen.

Hanya saja, bagaimana caranya bisa nyaman berkendara di Jakarta tanpa menyalakan AC? Mudah saja, berangkat lebih awal pagi hari dan pulang setelah malam hari sehingga udara relatif sejuk.

Mematikan mesin

Jepang saat ini mulai mencoba menerapkan kebiasaan mematikan mesin pada waktu kendaraan berhenti karena lampu lalu lintas merah. Percobaannya dimulai oleh bus angkutan umum di beberapa kota besar. Walaupun cara ini belum digandrungi di Jepang, tetapi apa yang mereka lakukan menunjukkan bahwa apa pun mereka coba untuk menekan konsumsi BBM.

Cara mematikan mesin pada waktu lampu lalu lintas masih merah mungkin belum cocok diterapkan di Indonesia. Selain karena waktu yang diperlukan untuk lampu berubah dari mulai merah ke hijau relatif singkat, cara seperti itu mensyaratkan mobil harus dalam kondisi sehat.

Jangan-jangan, setelah mesin dimatikan karena lampu merah, ketika mau di-start, mesinnya ngadat karena akinya soak.

Menghindarkan kemacetan

Pengemudi Jepang sangat berupaya menghindarkan kemacetan. Yang dilakukan adalah menghindari berkendaraan pada jam berangkat dan pulang kantor. Pernah suatu kali dalam suatu perjalanan wisata, pemandu wisata mengingatkan agar seluruh penumpang kembali berkumpul pukul 15.00 agar dapat menghindarkan kemacetan dan bergerak meninggalkan kota paling lambat pukul 16.00. Apabila kendaraan berjalan di tengah-tengah kemacetan, pemakaian BBM akan jauh lebih banyak, selain tentu melelahkan.

Pengemudi di kota-kota besar di Indonesia dapat menerapkan semangat menghindarkan kemacetan ini. Misalnya, berangkat lebih pagi, pulang lebih larut. Bila harus berkendara pada jam sibuk, berupayalah mencari jalur alternatif guna menghindar dari kemacetan.

Masyarakat Jepang berupaya tidak membuat acara-acara yang dapat membuat jalanan macet. Kalaupun harus membuat acara di lokasi yang lalu lintasnya ramai, penyelenggara acara jauh-jauh hari sudah memberi tahu masyarakat akan kemungkinan adanya gangguan lalu lintas, bahkan juga memberi informasi jalur-jalur alternatif.

Di Indonesia beda lagi. Sering pesta perkawinan, pesta ulang tahun, dan hajatan lainnya harus menutup jalan umum yang menyebabkan lalu lintas harus dialihkan ke jalan yang lebih sempit dan lebih jauh.

Atau, kalaupun ada acara perkawinan di gedung-gedung mewah, jalanan juga menjadi macet karena para tamu undangan semuanya pakai mobil pribadi. Bagaimana kalau ada yang berinisiatif menyelenggarakan resepsi pernikahan pada waktu senggang? Misalnya hari minggu antara jam 09.00 hingga jam 12.00? Waktu yang tidak lazim memang. Tetapi, pasti jalanan tidak macet, BBM juga tidak diboroskan.

Peluang untuk melakukan penghematan energi masih terbuka besar di Indonesia. Kalau pejabat negara sudah mengimbau untuk menghemat pemakaian energi, tindak lanjutnya terpulang kepada masyarakat. Yang jelas, menghemat pemakaian energi akan menjamin tercapainya keharmonisan: efisiensi ekonomi, perlindungan lingkungan, dan ketersediaan energi jangka panjang.


Artikel diatas ditulis oleh: IR Benny Marbun MENGSC Lulusan Konservasi Energi, Jepang dan pernah dimuat di Kompas Online



Budaya Jepang dilihat dari Kacamata Orang Indonesia.


Berikut adalah tulisan Yuli Setyo Indartono, seorang mahasiswa S3 Graduate School of Science and Technology, Kobe University, Japan. Tulisan ini cukup menarik, karena mampu melihat bagaimanakah budaya dan kebiasaan orang Jepang melalui kacamata orang Indonesia. Berikut adalah tulisan beliau, silahkan menikmati tulisan berikut.

Tulisan ini tidak bertutur tentang legenda Bangsa Samurai dahulu kala; namun berkisah tentang Jepang saat ini. Dongeng di sini berarti sesuatu yang mengherankan bila disandingkan dengan kondisi keseharian di tanah air. Meski Jepang bukanlah negeri dongeng yang sempurna, ada nilai-nilai kebaikan universal terealisir yang menarik untuk disimak dan diaplikasikan di tanah air tercinta. Tulisan ini merupakan fragmentasi keseharian saya, istri, dan beberapa kawan dekat kami di Jepang.

Kantor pemerintahan dan pelayanan publik Anda pernah melihat sekelompok semut? Nah, begitulah kira-kira situasi kantor pemerintahan daerah di Jepang. Tidak ada "semut" yang diam termangu, apalagi membaca koran; seluruh karyawan kantor senantiasa bergerak, dari saat bel mulai kerja hingga pulang larut malam. Tak habis pikir, saya tatap dalam-dalam "semut-semut" yang sedang bekerja tersebut; kadang kala saya curi pandang: jangan-jangan mereka sedang ber-internet ria seperti kebiasaan saya di kampus. Ingin saya mengetahui makanan apa gerangan yang dikonsumsi para pegawai itu sehingga mereka sanggup berjam-jam duduk, berkonsentrasi, dan menatap monitor yang bentuknya tidak berubah tersebut. Tata ruang kantor khas Jepang: mulai pimpinan hingga staf teknis duduk pada satu ruangan yang sama - tanpa sekat; semua bisa melihat bahwa semuanya bekerja. Satu orang membaca koran, pasti akan ketahuan. Aksi yang bagi saya dramatis ini masih ditambah lagi dengan aksi lari-lari dari pimpinan ataupun staf dalam melayani masyarakat. Ya, mereka berlari dalam arti yang sesungguhnya dan ekspresi pelayanan yang sama seriusnya. Wajah mereka akan menatap anda dalam-dalam dengan pola serius utuh diselingi dengan senyuman. Saya hampir tak percaya dengan perkataan kawan saya yang mempelajari sistem pemerintahan Jepang, bahwa gaji mereka - para "semut" tersebut - tidak bisa dikatakan berlebihan. Sesuai dengan standard upah di Jepang. Yang saya baca di internet, mereka memiliki kebanggaan berprofesi sebagai abdi negara; kebanggaan yang menutupi penghasilan yang tidak berbeda dengan profesi yang lain.


Menyandang status mahasiswa, saya mendapatkan banyak kemudahan dan fasilitas dari Pemerintah Jepang. Untuk mengurus berbagai keringanan tersebut, saya harus mendatangi kantor kecamatan (kuyakusho) atau walikota (shiyakusho) setempat. Beberapa dokumen harus diisi; khas Jepang: teliti namun tidak menyulitkan. Dalam berbagai kesempatan saya harus mengisi kolom semacam: apakah anda melakukan pekerjaan sambilan (arubaito = part time job), apakah anak anda tinggal bersama anda (untuk mengurus tunjangan anak), dsb. Dan dalam banyak hal, pertanyaan-pertanya an tersebut cukup dijawab dengan lisan: ya atau tidak. Tidak perlu surat surat pembuktian dari "RT, RW, Kelurahan" dsb. Saya percaya bahwa sistem yang baik selalu mensyaratkan kejujuran. Sistem berlandaskan kejujuran akan cepat maju dan meningkat, sekaligus sangat efisien.

Mengetahui bahwasanya saya adalah orang asing yang kurang lancar berbahasa Jepang, saya mendapatkan "fasilitas" diantar kesana-kemari pada saat mengurus berbagai dokumen untuk mengajukan keringanan biaya
melahirkan istri saya. Hal ini terjadi beberapa kali. Seorang senior saya pernah mengatakan, begitu anda masuk ke kantor pemerintahan di Jepang, maka semua urusan akan ada (dan harus ada) solusinya. Lain hari saya membaca prinsip "the biggest (service) for the small" yang kurang lebih bermakna pelayanan dan perhatian yang maksimal untuk orang-orang yang kurang beruntung.

Pameo "kalau ada yang sulit, mengapa dipermudah" tidak saya jumpai di Jepang. Pada suatu urusan di kantor walikota (shiyakusho) saya diminta untuk menyerahkan surat pajak penghasilan. Saya mengatakan bahwa saya sudah pernah, di masa yang lalu, menyerahkan surat yang sama ke bagian lain di kantor tersebut. Saya sudah siap dan pasrah seandainya mereka menjawab bahwa saya harus mengurus kembali surat tersebut ke kantor kecamatan sebelum saya pindah ke kota ini. Agak tertegun sekaligus lega mendapat jawaban bahwa staf divisi tersebut akan mendatangi divisi lain tempat saya pernah menyerahkan dokumen pajak saya sekian bulan yang lalu. Dia akan mengkopinya dari sana. Ambil jalan yang mudah, namun tetap mengedepankan ketelitian. Itulah yang saya jumpai di Jepang.

Berstatus mahasiswa yang berkeluarga (baca: harus berhemat), kami sempat terkejut melihat tagihan listrik bulanan yang melonjak hingga 10 kali lipat. Setelah melakukan pengusutan sederhana, tahulah kami bahwa ada kesalahan pencatatan meter listrik oleh petugas - sebuah kesalahan yang tidak umum di negeri ini. Segera saat itu pula saya telpon perusaah listrik wilayah Kansai untuk mengkonfirmasikan kesalahan tersebut. Berkali-kali kata sumimasen (yang bisa pula berarti maaf) keluar dari mulut operator telepon. Saya menganggapnya sudah selesai, karena operator berjanji untuk segera melakukan tindak lanjut. Belum berapa lama meletakkan tas di laboratorium pagi itu, istri menelpon dari rumah perihal kedatangan petugas listrik untuk meminta maaf dan menarik slip tagihan. Setibanya di rumah malam harinya, baru tahulah saya bahwa yang datang bukanlah sekelas petugas lapangan (dari kartu nama yang ditinggalkannya) dan tahulah saya bahwa dia tidak sekedar meminta maaf, karena bingkisan berisi sabun dan shampo merk cukup terkenal menyertai kartu nama petugas tersebut. Saya hanya berharap, waktu itu, bahwa petugas pencatat yang keliru tidak akan bunuh diri. Karena kekeliruan dalam bekerja, secara umum, menyangkut kehormatan di negara ini.

Saya mengetahui dari sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja di Jepang akan sebuah paradigma "Bila anda datang ke kantor pada pukul 09.00 (jam resmi masuk kantor di Jepang) dan pulang pada pukul 17.00 (jam resmi pulang kantor di Jepang), maka atasan dan kawan-kawan anda akan mengatakan bahwa anda tidak memiliki niat bekerja". Saya membuktikan pameo tersebut, karena setiap hari saya bersepeda melintasi kantor walikota (shiyakusho) . Sebagian besar lampu di kantor itu masih menyala hingga pukul 20.00. Dan beberapa kali saya jumpai staf kantor tersebut memasuki stasiun kereta, juga sekitar pukul 20.00. Hal ini berarti, mereka semua memiliki niat bekerja - versi Jepang.

Pasar, pertunjukan kejujuran dan perhatian Suatu kali pernah kami membeli sebungkus buah-buahan dengan bandrol murah; favorit bagi kalangan mahasiswa asing seperti saya. Saya sudah mengetahui bahwa ada sedikit cacat (gores atau bekas benturan) pada permukaan beberapa buah-buahan - sesuai dengan harga murah yang disematkan padanya. Pada saat kami hendak membayar buah tersebut, penjual buah buru-buru menerangkan dan menunjuk-nunjuk kondisi sedikit cacat pada beberapa buah-buahan tersebut, dan kembali memastikan niat kami membelinya. Sembari tersenyum, tentu saja kami mengatakan "daijobu" (tidak apa-apa), karena kami sudah melihatnya dari awal. Beberapa kawan kami mengiyakan pada saat kami menceritakan kejadian yang bagi kami cukup mengherankan ini; ini berarti sikap jujur tersebut tidak dimonopoli oleh satu-dua pedagang. Mereka mengerti betul bahwa kejujuran adalah prasyarat utama keberhasilan dalam berdagang. Tidak perlu meraup untung sesaat dalam jumlah besar, bila nantinya akan kehilangan pelanggan.

Hingga hari ini, pada saat bertransaksi di kasir, kami selalu menerima uang kembalian dalam jumlah yang utuh - sesuai dengan yang tertera pada slip pembayaran. Tidak kurang, meski hanya satu yen (mata uang terkecil di Jepang). Tidak ada "pemaksaan" untuk menerima permen sebagai pengganti nominal tertentu. Selain kagum dengan praktek berdagang yang baik ini, kami sekaligus kagum dengan sistem perbankan Jepang yang mampu menyediakan uang recehan untuk pedagang dan vending machine (mesin penjual otomatis) di se-antero Jepang. Meski bagi sebagian kalangan, uang kembalian terlihat "sepele"; hal ini bisa menyebabkan ketidakikhlasan pembeli terhadap transaksi jual-beli.

Istri saya selalu berbelanja bersama anak-anak; dan karena "keriangan" anak-anak, pada beberapa kasus, pak telur atau buah-buahan bisa meluncur ke lantai. Dua kali terjadi beberapa telur dalam satu pak pecah akibat keriangan anak-anak, dan satu kali melibatkan buah yang mudah penyok. Pada semua kejadian tersebut, petugas supermarket melihat dan segera mengganti barang-barang tersebut dengan yang baru. Padahal kami datang dengan wajah lelah dan pasrah untuk membayarnya, karena kami menyadari benar bahwa ini adalah kelalaian kami. Bahkan pada satu kasus, barang tersebut sudah dibayar istri saya. Pada saat kami menerangkan bahwa ini semua ketidaksengajaan anak-anak kami, dengan ramah petugas supermarket menyahut "daijobu yo" (tidak apa-apa).

Pada saat berkesempatan mengunjungi sebuah negara lain di Asia untuk sebuah konferensi, saya baru menyadari keramahtamahan petugas supermarket di Jepang. Di Jepang, bila anda menanyakan keberadaan sebuah barang, maka petugas tidak sekedar memberi arah petunjuk pada anda, namun dia akan mengantarkan anda hingga berjumpa dengan barang yang dicari; dan petugas baru akan meninggalkan anda setelah memastikan bahwa everything is ok.

Hal ini tidak berarti bahwa jumlah petugas supermarket di Jepang demikian banyaknya hingga mereka berkesempatan jalan-jalan di dalam supermarket yang sangat besar; justru sebaliknya, jumlah petugas selalu sesuai benar dengan kebutuhan, dan mereka selalu bergerak - seperti semut. Di sebuah toko elektronik, seorang petugas yang menjelaskan spesifikasi komputer yang anda tanyai adalah juga kasir tempat anda membayar serta petugas yang melakukan packing akhir terhadap komputer yang anda beli.

Polisi, sistem yang bekerja dan melindungi Kami sempat terheran-heran manakala pertama menginjakkan kaki di Kobe demi melihat postur polisi dan kendaraannya yang tidak lebih gagah dibandingkan dengan petugas pos di Indonesia. Benar, ini bukan metafora.

Memang ada pula polisi di tingkat prefecture (propinsi) yang gagah mengendarai motor besar bak Chip - ini jumlahnya sedikit. Namun polisi kota besar seukuran Kobe - salah satu kota metropolis di Jepang, posturnya tidak segagah polisi yang sering saya jumpai di jalan-jalan Republik. Anda tentu menganggap saya sedang bergurau bila saya mengatakan bahwa motor polisi di Kota Kobe dan Ashiya serupa benar dengan bebek terbang tahun 70-an. Saya tidak bergurau.

Ini Kobe dan Ashiya, dua kota di negara macan ekonomi dunia. Bebek terbang tersebut dilengkapi dengan boks besi di bagian belakang - mirip dengan petugas pengantaran barang kiriman. Namun, sekali bapak atau mbak polisi ini menghentikan kendaraan, tidak pernah saya melihat ada diantaranya yang berusaha lari. Tidak ada gunanya lari di negara dengan sistem network yang sangat baik ini. Ke mana pun anda lari, kesitu pula polisi dengan uniform yang serupa akan menghampiri anda. Pelan namun pasti. Saya akhirnya mafhum, bahwa polisi di sini lebih pada fungsi kontrol dan pengambilan keputusan (decision maker) - kedua fungsi ini memang tidak mensyaratkan badan yang harus berotot dan berisi. Tak heran saya melihat mas-mas polisi muda berkacamata melakukan patroli dengan bebek terbangnya. Mereka hanya perlu melihat, mengawasi, dan mengambil keputusan. Selebihnya, sistem yang akan bekerja.

Lingkungan hidup dan transportasi Jepang bukanlah negara dengan penduduk kecil. Populasi negara ini hampir separuh populasi Republik tercinta. Di sisi lain, wilayah negara ini didominasi oleh pegunungan yang sulit untuk dihuni. Pegunungan yang tetap hijau, membuat saya menduga bahwa Pemerintah Jepang memang sengaja membiarkan kehijauan melekat pada daerah pegunungan tersebut. Tokyo adalah kota besar dengan jumlah penduduk terbesar se-dunia, mengalahkan New York dan berbagai kota besar di mancanegara. Besarnya penduduk, sempitnya dataran yang bisa dihuni, dan tingginya tingkat ekonomi mensiratkan dua hal: kerapian dan
kebersihan.

Anda akan sangat kesulitan menjumpai sampah anthrophogenik (akibat aktivitas manusia) di jalan-jalan di Jepang. Kemana mata anda memandang, maka kesitulah anda akan tertumbuk pada situasi yang bersih dan rapi. Orang Jepang meletakkan sepatu/alas kaki dengan tangan, bukan dengan kaki ataupun dilempar begitu saja. Mereka menyadari bahwa ruang (space) yang mereka miliki tidak luas, sehingga semuanya harus rapi dan tertata. Sepatu dan alas kaki diletakkan dengan posisi yang siap untuk digunakan pada saat kita keluar ruangan. Hal ini sesuai dengan karakteristik mereka yang senantiasa well-prepared dalam berbagai hal. Kadang saya menjumpai kondisi yang ekstrim; seorang pasien yang sedang menunggu giliran di depan saya berbicara dan menggerakkan anggota tubuhnya sendiri.

Saya tahu bahwa ruang periksa di hadapan kami bukan ditempati psikiater ataupun neurophysicist. Belakangan saya tahu dari kawan yang belajar di bidang kedokteran, boleh jadi pasien tersebut sedang mempersiapkan dialog dengan dokternya.

Transportasi di Jepang didominasi oleh angkutan publik, baik bus, kereta (lokal, ekspres, super ekspres), shinkansen, dan pesawat terbang (antar wilayah). Baiknya sistem dan sarana transportasi di Jepang membuat anda tidak perlu berkeinginan untuk memiliki kendaraan sendiri - kecuali bila anda tinggal di country-side yang tidak memiliki banyak alat transportasi umum. Kereta dan shinkansen (kereta antar kota super ekspres) mendominasi moda transportasi di Jepang. Sebuah sumber yang saya ingat menyebutkan bahwa kepadatan lalu lintas kereta di Jepang adalah yang tertinggi di dunia. Di Jepang, kereta dan shinkansen digerakkan menggunakan listrik. Hal ini tidak menyebabkan polusi udara di perkotaan, karena listrik diproduksi terpusat. PLTN sebagai salah satu sumber pemasok utama energi listrik di Jepang, tentu saja, juga berkontribusi pada rendahnya polusi udara karena, praktis, PLTN tidak mengemisikan CO2.

Nasehat "tengoklah duru kiri dan kanan sebelum menyeberang jalan" mungkin tidak sangat penting untuk diterapkan bila anda menyeberang di tempat yang telah disediakan di Jepang. Anda cukup menunggu lambang pejalan kaki berubah warna menjadi hijau; insya Allah anda akan selamat sampai ke seberang - tanpa perlu menengok kiri dan kanan. Saat berkesempatan mengunjungi kota besar lain di Asia, kebiasaan menyeberang ala Jepang sempat membuat saya hampir terserempet motor; lampu hijau saja ternyata tidaklah cukup di kota ini. Kesehatan dan rumah sakit

Jepang mengerti benar bahwa orang-orang yang sehatlah yang lebih mampu memajukan bangsa dan negaranya. Mahasiswa di tempat saya belajar, Kobe University, wajib melakukan pemeriksaan kesehatan (gratis) setahun sekali. Fasilitas kesehatan di Jepang mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah. Sebagai orang asing, mahasiswa pula, kami dianjurkan untuk mengikuti program asuransi nasional. Dengan mengikuti program ini, kami hanya perlu membayar 30% dari biaya berobat. Dari yang 30% tersebut, sebagai mahasiswa asing, saya akan mendapatkan tambahan potongan sebesar 80% (yang belakangan turun menjadi 35%) dari Kementrian Pendidikan Jepang.

Berstatuskan mahasiswa, kami membayar premi asuransi per-bulan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan orang kebanyakan. Dari laporan rutin yang dikirimkan oleh pihak asuransi kepada kami, tahulah saya bahwa ongkos berobat kami selalu (jauh) lebih besar dari premi asuransi yang saya bayarkan setiap bulannya. Berbekal kartu asuransi nasional, datang ke rumah sakit ataupun ke klinik swasta bukan lagi menjadi hal yang menakutkan bagi keluarga kami di Jepang.

Jangan membayangkan bahwa pihak rumah sakit atau klinik swasta akan memberikan perlakuan yang berbeda kepada para pemegang kartu asuransi - apalagi untuk kami yang mendapatkan kartu tambahan khusus keluarga tidak mampu. Para dokter dan perawat melayani dengan keramahan yang tidak berkurang serta prosedur yang sama sederhananya. Keramahan di sini berarti keramahan yang sebenar-benarnya.

Baik anda kaya ataupun miskin, proses masuk dan keluar dari rumah sakit di Jepang adalah sama mudahnya. Saat istri melahirkan di rumah sakit pemerintah di Ashiya, saya disodori formulir yang berisi opsi pembayaran: tunai, lewat bank, dll. Tidak menjadi sebuah keharusan bagi seorang pasien untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran di hari dia harus keluar dari rumah sakit. Alhamdulillah kami mendapatkan keringanan biaya melahirkan dari Pemerintah Kota Ashiya; selain bisa melenggang dari rumah sakit tanpa bayar pada hari itu tagihan dari Kantor Walikota (setelah dipotong subsidi dari pemerintah) juga baru datang dua bulan kemudian. Saling percaya adalah kuncinya.

Yuli Setyo Indartono
Mahasiswa S3 di Graduate School of Science and Technology, Kobe
University, Japan.
Peneliti Istecs dan Ketua Teknologi Energi INDENI www.indeni.org
Email: indartono@yahoo. com 

Jangan maen-maen sama bahasa...



Kita ngomong setiap saat (termasuk waktu membathin), kirim pesan (alias nulis) setiap saat, apalagi dengan adanya internet dan merebaknya jaringan sosial. Ditambah lagi memang berbeda dengan budaya barat, orang timur itu guyub banget. Maunya ngumpul terus. Ya makin intense komunikasi itu. Komunikasi itu, lisan ato tulisan menggunakan apa yang kita sebut bahasa.

Tapi apa itu bahasa ? Darimana datangnya ? Bahasa itu diajarkan atau diciptakan ?Kalau ada bayi manusia dan anak panda dikurung dalam satu ruangan dan dipiara sampe gede apakah setelah gede mereka jadi bisa ngobrol ? Ini masih jadi msiteri yang dijawab dengan berbagai teori. Ada yang bilang diajarkan Tuhan. Ada yang bilang diwariskan mahluk luar angkasa. Ada yang bilang tercipta mirip proses evolusi. Dan lain-lain.

Bahasa jadi lebih ajaib lagi kalau dilihat fungsi dan peranannya -dia sarana berpikir. Pernah membayangkan gimana kita berpikir kalau kita nggak kenal bahasa ? Dia bukan sekedar rentetan simbol dan aturan bertutur. Dua-duanya adalah turunan yang kita sebut (dan sekarang banyak dipakai thanks to internet) bahasa tulisan. Bentuk pertamanya adalah bahasa lisan.

Karena bahasalah kita bisa mendefinisikan objek. Dan kemampuan mendefinisikan ini juga sering sering SERING sekali diabaikan seiring dengan tersepelekannya bahasa. Kompleksitas berpikir dan atau berkomunikasi nggak terasa buat kita manusia. Dia baru muncul dan disadari ketika kita pengen bikin sesuatu yang bisa mikir dan berkomunikasi kek manusia.

Kemampuan mendefinisikan objek inilah yang menjadi dasar bernalar sehingga lahir definisi-definisi baru yang makin baik, makin canggih, makin.. makin.. makin... tau-tau orang sampai ke bulan dan bisa balik lagi.

Semua metode bidang ilmu pengetahuan (science & Technology) selalu bermula dari pendefinisian masalah/kebutuhan.

Di ranah manajerial yang katanya separo eksak separo seni, perbaikan berkesinambungan (continuous improvement) bertumpu pada kemampuan mendefinisi karena :

Apa yang nggak bisa didefinisikan, nggak bakal bisa dipahami.
Apa yang nggak bisa dipahami, nggak bakal bisa dikendalikan.
Apa yang nggak bisa dikendalikan, nggak bakal bisa diukur.
Kalau diukur aja nggak bisa, gimana kita bisa improve ?

Di ranah kesenian, meski produk akhirnya bukan bahasa (bisa patung, bisa lukisan)... tapi konsep dan teori yang menjiwai terciptanya karya itu tetap lewat bahasa.

Bahkan di ranah spiritual pun Nabi mana yang mencerahkan umatnya pakai bahasa tubuh ?
Kitab suci apa yang isinya gambar kek komik ?
Sama halnya dengan kesenian, meski produk akhirnya "praktek", tapi dia selalu berawal dari "teori". Karena teori adalah pikiran, ide dan atau nalar.

Jadi sah-sah aja kalo kita have fun dengan bahasa. Tapi jangan pernah meremehkan kemampuan berbahasa yang baik. Karena beda manusia dengan mahluk lain ada dipikiran dan kita berpikir dengan bahasa.
Bahasa menentukan siapa dan seberapa baik kita.

Here's contoh lain kesaktian dan keajaiban yang bisa terjadi kalau orang menguasai bahasa...

Written By Judge Pau
Pengamat Bahasa

Postingan Lebih Baru Postingan Lama