Pages - Menu

Pages

2.09.2010

Atlantis Benua Yang hilang itu adalah Indonesia

Sebuah buku berjudul ATLANTIS The Lost Continent Finally Found (The Definitive Location of Plato’s Lost Civilization) diterbitkan terjemahannya di penghujung tahun kemarin oleh Ufuk Press. Prof. Arysio Santos, Ph.D., seorang Geolog dan Fisikawan Nuklir Brazil, melalui penelitian yang intens selama kurang lebih 30 tahun akhirnya berhasil menemukan letak persis dimana ‘Surga yang Tenggelam’ itu. Dengan kepercayaan diri yang luar biasa, Profesor kelahiran 24 Februari 1937 ini mendobrak pemahaman universal mengenai lokasi dimana Atlantis itu sebenarnya berada; Indonesia. Ciri-ciri Atlantis yang pernah diungkapkan Plato dalam karyanya Timaeus dan Critias, yang juga merupakan naskah tertulis paling primer mengenai Atlantis, dianggap cocok dengan kondisi geografis Kepulauan Indonesia.

Plato mempelajari perihal Atlantis dari Solon yang mendapatkan cerita itu dari pendeta Mesir. Sementara pendeta Mesir itu mendapatkan cerita itu dari orang-orang Hindu, yang diyakini Prof. Santos bukan berasal dari India namun dari Indonesia. Orang-orang Indonesia-lah yang membawa Hinduisme ke India bukan sebaliknya. Berdasar kepada hal inilah kemudian tercipta pembagian ras antara Arya-Semit dan Dravida (Indonesia). Begitu pula kemunculan cerita Ramayana dan Mahabarata sangat terkait dengan kedatangan bangsa Atlantis (Indonesia) ke India. Sementara Indonesia disebut pula sebagai “Punt” yang merupakan Tanah Leluhur tempat bangsa Mesir berasal. Dari istilah Sansekerta (Hindu) muncullah istilah Atala; Surga yang tenggelam. Dalam peradaban modern, Thomas More mencipta istilah Utopia yang sebenarnya juga merujuk pada replika Atlantis. Keseluruhan istilah itu dibuktikan oleh Prof. Santos bermuara kepada Indonesia.

Atlantis, seperti yang digambarkan Plato adalah kawasan tropis yang berlimpah sumber daya alamnya dan telah memiliki teknologi yang sudah maju, atau yang diyakini Prof. Santos adalah Indonesia itu kemudian tiba-tiba lenyap tersapu bencana. Peristiwa itu dimulai dari gempa dan tsunami yang maha dahsyat sebagai akibat dari meletusnya Gunung Berapi Krakatau yang diperkirakan terjadi pada 11.600 tahun yang lalu. Terpisahnya pulau Jawa dan Sumatera dan tenggelamnya hampir separuh wilayah Nusantara hanya salah satu perubahan kecil dari perubahan peta dunia secara keseluruhan. Prof. Santos bahkan yakin seyakin-yakinnya bahwa Atlantis itu adalah memang Indonesia adanya dan baginya ini tak terbantahkan lagi.

Atlantis itu Indonesia
Prof. Santos meyakini bahwa Atlantis adalah tempat lahirnya peradaban dunia dimana beragam ilmu, teknologi maju dan penemuan besar manusia muncul untuk kali pertamanya di dunia. Kesemuanya itu ternyata berasal dari negeri ini; Indonesia. Malah baginya peradaban India, Yunani, Mesir, Cina, Maya, Aztec, Inca, dll dianggap sebagai peradaban turunan yang dibangun oleh bangsa Indonesia yang berhasil bertahan dari bencana. Mereka itulah yang kemudian mewariskan pengetahuan ke negeri baru sehingga ada banyak persamaan budaya dan aristektur di setiap peradaban. Teori ini tentu akan mengguncang kemapanan sejarah peradaban manusia yang terlanjur menganggap Mesir dan Sumeria sebagai peradaban tertua.

Prof. Santos dalam bukunya (2009; 295-299) memaparkan beberapa detilnya tentang Atlantis yang diolah dari berbagai mitos dan legenda yang beredar di seluruh dunia untuk kemudian digunakannya dalam membantah pemahaman umum tentang Atlantis. Detil itu antara lain; 

(1) “Samudera Atlantis” kuno bukanlah samudera yang kita kenal sekarang. Ia adalah Samudra Luar yang mengelilingi seluruh dunia dan terdiri dari Samudera Atlantik, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

(2) “Pilar-pilar Herkules” yang diyakini selama ini sebagai Selat Gibraltar, Selat Bosphorus dan Selat Kertch adalah salah. Dimana pun Atlantis ditemukan maka otomatis Pilar-pilar Herkules atau Atlas sejati itu akan berada di sana. Dalam kata lain, Pilar-pilar Herkules ini ada di Indonesia yang diyakini sebagai Selat Sunda.

(3) “Pulau Atlantis” yang dimaksud Plato bukan berarti “Pulau” namun apa yang kita sebut sekarang sebagai “benua”.

(4) Kiasan Plato mengenai “pulau Atlantis” mengandung pengertian “berlawanan atau berhadapan”. Hal ini berarti Atlantis terletak berlawanan dengan Gibraltar, seperti yang diyakini selama ini. Plato, diyakini Prof. Santos, merujuk pada tepi-samudera yang sebaliknya. “Pilar-pilar Herkules” itu sebagai Selat Sunda dan Taprobane sebagai “Pulau Atlantis” itu sendiri merujuk kepada Swarnadwipa (Pulau Emas); Pulau Sumatera. Di pulau inilah terdapat Kota Lanka, ibukota kerajaan Rahwana, nama lain dari Kerajaan Atlantis. Lanka dianggap sebagai lokasi awal Meridian 00 yang tepat berada di atas pusat Sumatera (Taprobane); lokasi SurgaBumi.

(5) Tradisi Yunani sebenarnya merujuk kepada tradisi Hindu tentang pulau Taprobane. Taprobane adalah benua yang tenggelam yang merupakan tempat dari mana bangsa Dravida datang pada mulanya. Taprobane (Kota Emas) terletak di Indonesia (Sumatera), di Garis Khatulistiwa, bukan di Sri Lanka. Hingga hari ini Taprobane sering disamakan dengan Sri Lanka dan itu keliru.

Berdasarkan detil-detil itulah Prof. Santos kemudian menyimpulkan argumennya dengan membuktikan Atlantis benar-benar berada di Indonesia, di Hindia Timur, dan bukan di tempat lain di dunia. Beragam temuan peneliti terdahulu berhasil dimentahkan dengan bukti-bukti modern dan kongkrit yang berhasil ia temukan.

Tantangan ke Depan

Atlantis adalah misteri terbesar yang dihadapi manusia sejak awal sejarah hingga hari ini. Plato, 2500 tahun yang lalu, telah berusaha membuka selubung “Benua yang Tenggelam” itu. Selubung inilah yang kemudian bermilenium ke depan menjadi perbincangan alot turun temurun. Berbagai nama besar kemudian terdorong untuk membuktikan teori Plato. Mulai dari Alexander the Great hingga ke Colombus berusaha untuk menemukan “Surga yang Hilang” itu. Sebuah semangat bangsa Eropa yang akhirnya berujung pada kolonialisasi dan monopoli “surga” itu sendiri. Bahkan, konon kabarnya, Amerika didirikan founding fathers mereka dengan konsep fiksi bernama New Atlantis karangan Sir Francis Bacon.
Dengan terpublikasinya penelitian Prof. Santos ini tentu akan berimplikasi secara global. Jika selama ini di Indonesia masih membicarakan kemegahan Sriwijaya dan Majapahit saja maka Prof. Santos melihat lebih jauh dari itu. Tak tanggung-tanggung ia nyatakan Indonesia sebagai pusat lahirnya peradaban-peradaban besar dunia. Bahkan tak hanya itu, agama-agama besar juga dikaitkan kemunculannya dari daerah ini. Tidak hanya sejarah nasional yang sepertinya mesti dikoreksi melainkan sejarah global. Peta dunia juga mesti dinamai ulang sekiranya ini semua benar adanya. Penemuan luar biasa ini tentu akan mencipta polemik luar biasa pula, terutama di bidang akademisi yang masih menggaungkan pemikiran-pemikiran lama mereka. Maka sudah sepantasnya pemikiran Prof. Santos ini diapresiasi setinggi mungkin oleh orang Indonesia pada khususnya.

Di saat para pemimpin bangsa masih berkutat pada semangat “kekinian” dan di “kesinian” maka gagasan besar Prof. Santos ini semestinya mendapat tempat yang luar biasa untuk dapat melihat jauh lebih ke depan. Di saat kita patah semangat melihat para pemimpin bangsa masih saja memikirkan “next election” bukan “next generation” maka sepertinya gagasan ini ‘kan menjadi angin perubahan. Atlantis yang menginspirasi Plato untuk kemudian menelurkan pemikirannya tentang konsep negara ideal yang kemudian diaplikasikan hampir di seluruh belahan dunia sebagai bentuk pemerintahan modern (republik) ternyata sungguh tak jauh. Sangat dekat malah. Atlantis justru berada di bawah kaki kita dan di bawah laut kita. Sistem demokrasi justru sebenarnya berawal dari orang Timur bukan dari Barat.

Oleh karena itu, gagasan besar Prof. Arysio Santos ini mesti disebarluaskan. Salah satunya bisa melalui publikasi-publikasi dan diskusi-diskusi atau seminar-seminar yang kemudian dapat dikembangkan menjadi suatu rekomendasi yang ditujukan tidak saja kepada pemerintah namun juga pihak terkait lainnya. Setelah itu diharapkan kemudian bermunculan peneliti-peneliti dan pemikir-pemikir nasional yang mampu menunjukkan kredibilitas dan validitasnya di kancah internasional. Merubah sejarah dunia tentu bukan perkara mudah. Tapi dengan dibukanya selubung kebesaran masa lalu ini oleh Prof. Santos setidaknya telah membuka satu pintu bagi kita semua yang memang benar-benar peduli untuk ikut berpartisipasi aktif. Indonesia dulu adalah bangsa yang besar dan layak untuk menjadi besar kembali. Ataukah kita hanya akan memilih untuk kembali menjadi bangsa yang tenggelam sebagaimana Atlantis dahulu? Pertanyaan ini sepertinya adalah tantangan yang ditinggalkan Prof. Santos sebelum ia meninggal pada 9 September 2005 lalu dan mesti kita jawab dengan tindakan nyata. Pemaknaan sejarah dunia akhirnya mesti dibaca ulang, dirubah dan dievaluasi kembali. Itu semua mesti dimulai dari sini dan mulailah dari kini.

Sumber:
Oleh: Devy Kurnia Alamsyah, SS
Mahasiswa Magister Ilmu Susastra Universitas Indonesia,
Periset National Press Club of Indonesia
dan Redaktur Jurnal Yayasan Suluh Nuswantara Bakti

2 komentar: